SEJARAH JURNALISTIK
Berbicara tentang jurnalistik, kita pasti
membayangkan mengenai suatu berita dimana berita itu memuat tentang berbagai
fenomena yang terjadi di masyarakat. Kegiatan jurnalistik sebenarnya sudah ada
dan sudah lama dikenal manusia di dunia ini, karena keberadaannya selalu hadir
ditengah-tengah kita seiring dengan kegiatan pergaulan manusia yang dinamis,
terutama di era informasi seperti saat sekarang ini. Dengan semakin
berkembangnya media yang dapat membantu tersebarnya berita dengan cepat, maka
kegiatan jurnalistikpun memaksa untuk menyebarkan berita-berita yang aktual dan
faktual. Bahkan saat sekarang ini bisa dijumpai dengan mudah tentang
berita-berita mulai dari yang daerah plosok negeri sampai plosok dunia.
Kegiatan jurnalistik pada masa sekarang ini
semakin diminati oleh masyarakat. Khususnya mereka generasi muda yang ingin
ikut ambil bagian dalam upaya memberikan berita-berita yang berkualitas.
Sehingga sekarang ini banyak muncul sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang
khusus mempelajari bidang jurnalistik dan bidang yang terkait. Misalnya sekolah
broadcast yang member kesempatan dan pelatihan menjadi seorang wartawan dan
orang yang bekerja untuk kejurnalistikan.
Berbicara jauh tentang jurnalistik dewasa
ini, belum afdol jika kita tidak membicarakan tentang asal mula jurnalistik itu
sendiri. Disini saya ingin memaparkan tentang sejarah jurnalistik, baik sejarah
jurnalistik dunia, sejarah jurnalisik Indonesia, dan surat kabar pertama yang
muncul di dunia, yang saya dapat dari berbagai tulisan di berbagai blog.
1.
Sejarah Jurnalistik Dunia
Dalam situs ensiklopedia, www.questia.com
tertulis, jurnalisme yang pertama kali
tercatat adalah di masa kekaisaran Romawi kuno, ketika informasi harian
dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk menginformasikan hal-hal
yang berkaitan dengan isu negara dan berita lokal. Seiring berjalannya waktu,
masyarakat mulai mengembangkan berbagai metode untuk memublikasikan berita atau
informasi.
Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan
terbatas, terutama para pejabat pemerintah. Baru pada sekira abad 17-18 surat
kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk pertama kalinya di wilayah
Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering
mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik
untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan
abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, mengesahkan
undang-undang kebebasan pers.
Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika
budaya membaca di masyarakat semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa
Revolusi Industri, di mana industri surat kabar diuntungkan dengan adanya mesin
cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk memenuhi permintaan publik
akan berita.
Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada pertengahan 1800-an
mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai
berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan
majalah.
Kantor berita bisa meraih kepopuleran dalam waktu sangat cepat. Pasalnya, para pengusaha surat kabar dapat lebih menghemat pengeluarannya dengan berlangganan berita kepada kantor-kantor berita itu daripada harus membayar wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai wilayah. Kantor berita lawas yang masih beroperasi hingga hari ini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Kantor berita bisa meraih kepopuleran dalam waktu sangat cepat. Pasalnya, para pengusaha surat kabar dapat lebih menghemat pengeluarannya dengan berlangganan berita kepada kantor-kantor berita itu daripada harus membayar wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai wilayah. Kantor berita lawas yang masih beroperasi hingga hari ini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya
istilah yellow journalisme (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk
“pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki
oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan!
Jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme professional.
2. Sejarah Jurnalistik Indonesia
Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Sejarah
Orde Lama
Dewan Pers pertama kali terbentuk pada tahun 1966 melalui
Undang-undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Fungsi
dari Dewan Pers saat itu adalah sebagai pendamping Pemerintah serta
bersama-sama membina perkembangan juga pertumbuhan pers di tingkat nasional.
Saat itu, Menteri
Peneranang secara ex-officio menjabat sebagai Ketua Dewan Pers.
Orde Baru
Pada era orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak
berubah yaitu masih menjadi penasehat Pemerintah, terutama untuk Departemen
Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers. Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur
keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21
Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 :
“
|
Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers,
wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers
serta ahli-ahli di bidang lain
|
”
|
Reformasi
Disahkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers
membuat berubahnya Dewab Pers menjadi Dewan Pers yang Independen, dapat dilihat
dari Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan :
“
|
Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen
|
”
|
Fungsi Dewan Pers juga berubah, yang dahulu sebagai
penasehat Pemerintah sekarang telah menjadi pelindung kemerdekaan pers. Tidak
ada lagi hubungan secara struktural dengan Pemerintah. Dihapuskannya Departemen Penerangan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid menjadi
bukti. Dalam keanggotaan, tidak ada lagi wakil dari Pemerintah dalam Dewan
Pers. Tidak ada pula campur tangan Pemerintah dalam institusi dan keanggotaan ,
meskipun harus keanggotaan harus ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Untuk Ketua dan Wakil
Ketua Dewan Pers, dipilih melalui mekanisme rapat pleno (diputuskan oleh
anggota) dan tidak dicantumkan dalam Keputusan Presiden. Pemilihan anggota
Dewan Pers independen awalnya diatur oleh Dewan Pers lama. Atang Ruswati menjabat sebagai Ketua Badan
Pekerja Dewan Pers, sebuah badan bentukan Dewan Pers sebelum dilakukannya
pemilihan anggota. Badan Pekerja Dewan Pers kemudian melakukan pertemuan dengan
berbagai macam organisasi pers juga perusahaan media. Pertemuan tersebut
mencapai sebuah kesepakatan bahwa setiap organisasi wartawan akan memilih dan
juga mencalonkan dua orang dari unsur wartawan serta dua dari masyarakat.
Setiap perusahaan media juga berhak untuk memilih serta mencalonkan dua orang
yang berasal dari unsur pimpinan perusahaan media juga dua dari unsur
masyarakat. Ketua Dewan Pers independen yang pertama kali adalah Atmakusumah Astraatmadja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar