Senin, 07 November 2011

KESETIAKAWANAN SOSIAL


KESETIAKAWANAN SOSIAL
Kesetiakawanan sosial atau rasa soliditas sosial merupakan potensi spiritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa. Kesetiakawanan sosial dilandasi oleh sikap pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing individu.Kesetiakawanan sosial juga dilandasi dengan selalu bersesdia  dalam keadaan apapun, saat sedih maupun senang. 
 Dikatakan, kesetiakawanan sosial dapat diwujudkan melalui kebersamaan, kerelaan berkorban demi sesama, gotong royong dan kekeluargaan. Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial dan modal sosial yang sangat berharga dan harus terus digali, dikembangkan dan didayagunakan.
 ”Globalisasi tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif berupa individualisme, rasa cinta kasih sebagian besar orang semakin hilang sehingga kehausan akan simpati, empati dan kepedulian merupakan harta yang tak ternilai dan sangat dicari oleh manusia”, ungkap Kasau.
Hingga saat isu mengeai kesenjangan sosial masih cukup menarik untuk dikaji, bahkan tak akan pernah tuntas sampai kesenjangan itu benar-benar lenyap. Lantas, akankah persoalan tersebut bisa tuntas dan lenyap ? Jawabannya tidak mungkin, kesenjangan itu akan selalu menyertai kehidupan masyarakat manusia, di manapun dan kapanpun.
Dengan demikian, isu mengenai kesenjangan sosial akan selalu hadir, dan tak pernah habis-habisnya. Kesenjangan sosial tak mungkin lenyap sama sekali, sedangkan berbagai upaya yang selama ini begitu gencar dilaksanakan, seperti program anak asuh, rehabilitasi sosial daerah kumuh, pemukiman suku terasing, pembinaan pedagang asongan, atau program kesetiakawanan sosial lainnya, hanyalah merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan sosial.
Pada seluruh unit populasi manusia di seantero biosfir bumi ini, kesenjangan selalu ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut muncul sebagai resluntan dari interaksi antar individu denga individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok dengan kelompok.
Dalam interaksi tersebut, terdapat perbedaan taraf kemampuan atau kapasitas, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, intelektual atau segi psikologis. Individu manusia memiliki genotif dan fenotip yang berlainan, ada yang memiliki keunggulan tertentu, ada pula yang memiliki kelemahan.
Total keunggulan yang dimiliki oleh seluruh individu dalam populasi, akan menjadi ciri dari keunggulan populasi atau kelompok tersebut. Begitu pula, suatu keunggulan yang dimiliki oleh bangsa tertentu, akan menjadi ciri khas bangsa tersebut. Umpamanya, bangsa Jepang yang dikenal karena keuletannya, atau bangsa kita yang sejak lama dikenal karena semangat gotong-royong serta keramahannya. Masing-masing individu, populasi atau kelompok masyarakat, dan bangsa tertentu, memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu. Perbedaan-perbedaan itulah yang merupakan penyebab pokok dari adanya kesenjangan sosial.
Untuk mengurangi tingkat kesenjangan sosial maka dicetuskan gagasan mengenai pemerataan. Langkah pemerataan tak lain merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan. Tetapi pemerataan di sini tidak dimaksudkan untuk membuat segalanya serba rata, hingga tidak terdapat lagi jarak atau gap antar kelompok. Lagi pula ide tersebut, tampaknya sangat tidak mungkin.
Bagaimanapun gap itu selalu terjadi dalam interaksi antar individu, kelompok atau bangsa, yang tak lain merupakan dampak eksternal dari adanya perbedaan potensi atau sumberdaya yang dimiliki masing-masing individu, kelompok atau bangsa.
Selain itu, ternyata gap tersebut menjadikan pola interaksi selalu dinamis. Dengan adanya gap maka terciptalah hubungan buruh-majikan, klien-patron, debitur-kreditur, dan sebagainya. Hanya masalahnya, bagaimana caranya supaya gap tersebut tidak terlalu lebar, hingga kecemburuan dan keresahan sosial tidak terjadi.
Untuk itu di antara kelompok-kelompok yang “berbeda” tersebut, harus terdapat pola interaksi yang harmonis. Umpamanya antara kelompok buruh dan majikan harus terdapat hubungan yang serasi dan seimbang, masing-masing menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.
Untuk mengatur pola interaksi tersebut, maka harus ada semacam acuan. Umpamanya dalam hal interaksi buruh-majikan di negara kita, perlu mengacu pada Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP tak lain merupakan konsep untuk menjembatani kesenjangan antara buruh dan majikan.
Di negara kita, buruh atau pekerja umumnya memiliki bargaining power yang relatif lemah, yakni karena kuantitasnya berlebih sedangkan kualitasnya rendah. Dengan adanya HIP, paling tidak buruh yang berkonotasi dengan “yang kecil”, kekuatan menawarkan terhadap majikan yang berkonotasi dengan “yang besar” bisa meningkat.
Dengan demikian, salah satu kelompok “yang kecil” tersebut, dewasa ini mulai memperoleh sentuhan. Bagaimanapun, buruh merupakan aset terpenting bagi sebuah perusahan, sudah selayaknya untuk mendapatkan hak-haknya. Bahkan, dengan makin digencarkannya penerapan pemerataan, maka kini buruh memiliki kemungkinan untuk menjadi “pemilik” perusahaan, yakni dengan perolehan saham melalui koperasi.
Upaya pemerataan juga ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat kecil lainnya. Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi moneter dan perbankan, maka kelompok pengusaha kecil juga mendapat sentuhan, di mana berdasarkan ketentuan sekitar 20 persen kredit perbankan diperuntukan bagi mereka. Paling tidak, para pengusaha kecil kini memeproleh bantuan modal, manajemen dan pemasaran produknya.
Sebenarnya, masih ada kelompok masyarakat “yang kecil” lainnya yang kurang tersentuh pembangunan. Bahkan, mereka seolah merasa asing dengan pembangunan. Mereka bukan buruh atau pengusaha kecil, mata pencaharian mereka tergolong “informal”, tidak tersentuh koperasi atau kredit perbankan.
Mereka tak lain dari masyarakat lapisan terbawah, yang umumnya dikatagorikan sebagai penyandang masalah sosial. Yang termasuk dalam kelompok tersebut umpamanya para gelandangan dan pengemis, yang umumnya bermukim di perkotaan. Tampaknya, pemerataan akan sulit diterapkan pada lapisan masyarakat terbawah ini. Mengingat begitu lebar kesenjangan yang telah terjadi. Mereka begitu tertinggal, oleh sebab itu diperlukan bentuk penanganan khusus.
Jangan sampai pembangunan yang sedang digalakan, makin menyudutkan posisi mereka, karena terbentuk gap yang makin kokoh. Mengacu pada prinsip kesetiakawanan social, selayaknya “yang kecil” pun harus secara bersama-sama ikut menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian, kesetiakawanan social sudah selayaknya bukan sekedar slogan dengan bentuk kegiatannya yang temporer, tetapi harus benar-benar kongkrit dan berkelanjutan. Dan upaya pemerataan tersebut, harus dilakukan secara bersama-sama, melalui partisipasi proaktif berbagai pihak. (Atep Afia).

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Dalam situasi yang sulit dan tidak menentu, akhirnya secara bertahap bangsa kita mampu membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis. Dan puncaknya terjadi ketika terjadi Serangan Umum 1 Marei 1949 di bawah pimpinan Komandan Brigade X, l.etkol Soeharto (mantan Presiden Rl) yang berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Sukses tersebut jelas akan sulit diraih tanpa internalisasi dan sikap apresiatif terhadap nilai kesetiakawanan sosial, di samping kecekatan dan kemampuan para pemimpin dalam menyiasati situasi.
Rasa Kemanusiaan
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Di penghujung tahun 1997 ini, negeri kita “digoyang” oleh serentetan “tragedi dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan. Kebakaran hutan, kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang tengah menguji “akting” sosial kita terhadap para korban.
Saudara-saudara kita di Lampung, Irian Jaya, dan sebagian Jawa, sangat membutuhkan uluran tangan kita untuk menyantuni mereka sekadar untuk bisa bertahan hidup. Rasa kemanusiaan kita benar-benar diuji. Kalau selama ini kita terus bersikutat untuk menumpuk-numpuk harta, sikut sana sikut sini untuk memanjakan naluri kesenangan dan kepangkatan, bahkan tidak jarang harus membudayakan upeti dan amplop dalam memuaskan kebuasan hati, saudara-saudara kita justru memeras keringat, air mata, bahkan darah, untuk bisa “survive” mempertahankan nyawanya.
Akselerasi pembangunan yang telah mampu menjangkau kemakmuran dan tingkat taraf hidup yang memadai, harus kita syukuri dengan banyak menyantuni kaum dhuafa yang nasibnya kurang beruntung. Pemerintah lewat Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) — yang dirimis sejak awal Repelita VI –setidaknya telah memberikan “patron” yang nyata dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang melilit sebagian saudara kita. Jika pada tahun 1976 jumlah penduduk yang miskin masih sebesar 40 persen atau sekitar 54,2 juta orang, pada tahun 1993 telah berkurang menjadi 14 persen atau 25,9 juta jiwa, dan pada tahun 1996 tinggal 11,3 persen atau sekitar 22,6 juta orang. Upaya pengentasan kemiskinan ini jelas memerlukan kepedulian kita semua, bukan sekadar ingin membantu suksesnya program pemerintah, melainkan justru yang lebih penting “menyelamatkan” mereka yang dhaif secara ekonomi dari proses segregasi sosial yang bisa memicu pecahnya konflik, kecemburuan, atau kekerasan sosial.
Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.
Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.
Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modem, menurut Hembing Wijayakusuma (1997) telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.
Kesibukan memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.
Fenomena di atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangiun para pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.
Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimana pun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentukpenyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan bar-bar.
Ketika memberikan wejangan kepada para dalang dalam rangka “Rapat Paripurna PEPADI 1995″ di Jakarta, Presiden Soeharto pernah menggunakan analogi lakon wayang “Makutha Rama” yang memuat ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawawidhi. Ajaran ini membuat delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia dalam memperkukuh tali kesetiakawanan sosial akibat semakin dahsyatnya arus konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme yang melanda masyarakat modern.
Pertama, watak bumu, simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak matahari, mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Keempat, watak angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras.
Kelima, watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi. dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air, bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan, watak bintang, tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.
Wacana” kesetiakawanan sosial, agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah semakin buram oleh perilaku manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan. Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk mengaktualisasikannya, sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya yang terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan. ***
Ketika baru saja berhasil menumpas Pemberontakan PKI Madiun, secara mendadak Belanda melancarkun aksi militernya yang kedua, 19 Desember 1945. Dengan taktik “perang kilat”, Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik Indonesia. Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjadi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya. Jenderal Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan prajurit kita terus berjuang, bahu-membahu, saling rangkul, dan saling berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Oleh karena itu, sebagai manusia sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan memiliki begitu banyak tetangga yang bisa dijadikan saudara kita seharusnya bias lebih meningkatkan rasa kemanusiaan kita kepada semuanya tidak terkecuali. Tidak memandang harta,martabat dan kedudukan. Sesungguhnya kita di dunia ini adalah sama, jadi tidak perlu kita bangga-banggakan dengan apa yang kita miliki. Jika kita menghilangkan hal tersebut maka kejadian-kejadian yang bersifat negatif pasti tidak terjadi di lingkungan kita.
 Menurutnya, sebagai prajurit dan keluarga besar Angkatan Udara, kebersamaan dan kesetiakawanan sosial diwujudkan melalui pengabdian terhadap tugas yang diemban. TNI Angkatan Udara berupaya mendekatkan diri kepada rakyat melalui berbagai kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung seperti keterlibatan TNI AU dalam operasi militer selain perang terutama dalam penanggulangan bencana.

Pernyataan tersebut disampaikan Kasau Marsekal TNI Imam Sufaat SIP pada acara perayaan Natal TNI Angkatan Udara di Mabesau, Cilangkap, Selasa (18/1). Diikuti seluruh anggota militer dan PNS yang beragama Nasrani serta dihadiri Asops Kasau Marsda TNI Ignatius Basuki, Ketua umum PIA Ardhya Garini Ny Maya Imam Sufaat, Wakil Ketua umum PIA Ardhya Garini Ny Sukirno, Waasops Marsma TNI Bambang Sulistyo, Kadiswatpers Marsma TNI Potler Gultom. Rohaniawan TNI AU Romo Hari Susanto PR, Romo Ulun dari pejompongan dan Pendeta Tobing sebagai penceramah Natal.


 REFERENSI:

http://sawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan-sosial-versus-masyarakat-konsumtif/

http://trimiyati.web.ugm.ac.id/wordpress/?p=6