Senin, 07 November 2011

KESETIAKAWANAN SOSIAL


KESETIAKAWANAN SOSIAL
Kesetiakawanan sosial atau rasa soliditas sosial merupakan potensi spiritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa. Kesetiakawanan sosial dilandasi oleh sikap pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing individu.Kesetiakawanan sosial juga dilandasi dengan selalu bersesdia  dalam keadaan apapun, saat sedih maupun senang. 
 Dikatakan, kesetiakawanan sosial dapat diwujudkan melalui kebersamaan, kerelaan berkorban demi sesama, gotong royong dan kekeluargaan. Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial dan modal sosial yang sangat berharga dan harus terus digali, dikembangkan dan didayagunakan.
 ”Globalisasi tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif berupa individualisme, rasa cinta kasih sebagian besar orang semakin hilang sehingga kehausan akan simpati, empati dan kepedulian merupakan harta yang tak ternilai dan sangat dicari oleh manusia”, ungkap Kasau.
Hingga saat isu mengeai kesenjangan sosial masih cukup menarik untuk dikaji, bahkan tak akan pernah tuntas sampai kesenjangan itu benar-benar lenyap. Lantas, akankah persoalan tersebut bisa tuntas dan lenyap ? Jawabannya tidak mungkin, kesenjangan itu akan selalu menyertai kehidupan masyarakat manusia, di manapun dan kapanpun.
Dengan demikian, isu mengenai kesenjangan sosial akan selalu hadir, dan tak pernah habis-habisnya. Kesenjangan sosial tak mungkin lenyap sama sekali, sedangkan berbagai upaya yang selama ini begitu gencar dilaksanakan, seperti program anak asuh, rehabilitasi sosial daerah kumuh, pemukiman suku terasing, pembinaan pedagang asongan, atau program kesetiakawanan sosial lainnya, hanyalah merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan sosial.
Pada seluruh unit populasi manusia di seantero biosfir bumi ini, kesenjangan selalu ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut muncul sebagai resluntan dari interaksi antar individu denga individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok dengan kelompok.
Dalam interaksi tersebut, terdapat perbedaan taraf kemampuan atau kapasitas, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, intelektual atau segi psikologis. Individu manusia memiliki genotif dan fenotip yang berlainan, ada yang memiliki keunggulan tertentu, ada pula yang memiliki kelemahan.
Total keunggulan yang dimiliki oleh seluruh individu dalam populasi, akan menjadi ciri dari keunggulan populasi atau kelompok tersebut. Begitu pula, suatu keunggulan yang dimiliki oleh bangsa tertentu, akan menjadi ciri khas bangsa tersebut. Umpamanya, bangsa Jepang yang dikenal karena keuletannya, atau bangsa kita yang sejak lama dikenal karena semangat gotong-royong serta keramahannya. Masing-masing individu, populasi atau kelompok masyarakat, dan bangsa tertentu, memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu. Perbedaan-perbedaan itulah yang merupakan penyebab pokok dari adanya kesenjangan sosial.
Untuk mengurangi tingkat kesenjangan sosial maka dicetuskan gagasan mengenai pemerataan. Langkah pemerataan tak lain merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan. Tetapi pemerataan di sini tidak dimaksudkan untuk membuat segalanya serba rata, hingga tidak terdapat lagi jarak atau gap antar kelompok. Lagi pula ide tersebut, tampaknya sangat tidak mungkin.
Bagaimanapun gap itu selalu terjadi dalam interaksi antar individu, kelompok atau bangsa, yang tak lain merupakan dampak eksternal dari adanya perbedaan potensi atau sumberdaya yang dimiliki masing-masing individu, kelompok atau bangsa.
Selain itu, ternyata gap tersebut menjadikan pola interaksi selalu dinamis. Dengan adanya gap maka terciptalah hubungan buruh-majikan, klien-patron, debitur-kreditur, dan sebagainya. Hanya masalahnya, bagaimana caranya supaya gap tersebut tidak terlalu lebar, hingga kecemburuan dan keresahan sosial tidak terjadi.
Untuk itu di antara kelompok-kelompok yang “berbeda” tersebut, harus terdapat pola interaksi yang harmonis. Umpamanya antara kelompok buruh dan majikan harus terdapat hubungan yang serasi dan seimbang, masing-masing menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.
Untuk mengatur pola interaksi tersebut, maka harus ada semacam acuan. Umpamanya dalam hal interaksi buruh-majikan di negara kita, perlu mengacu pada Hubungan Industrial Pancasila (HIP). HIP tak lain merupakan konsep untuk menjembatani kesenjangan antara buruh dan majikan.
Di negara kita, buruh atau pekerja umumnya memiliki bargaining power yang relatif lemah, yakni karena kuantitasnya berlebih sedangkan kualitasnya rendah. Dengan adanya HIP, paling tidak buruh yang berkonotasi dengan “yang kecil”, kekuatan menawarkan terhadap majikan yang berkonotasi dengan “yang besar” bisa meningkat.
Dengan demikian, salah satu kelompok “yang kecil” tersebut, dewasa ini mulai memperoleh sentuhan. Bagaimanapun, buruh merupakan aset terpenting bagi sebuah perusahan, sudah selayaknya untuk mendapatkan hak-haknya. Bahkan, dengan makin digencarkannya penerapan pemerataan, maka kini buruh memiliki kemungkinan untuk menjadi “pemilik” perusahaan, yakni dengan perolehan saham melalui koperasi.
Upaya pemerataan juga ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat kecil lainnya. Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi moneter dan perbankan, maka kelompok pengusaha kecil juga mendapat sentuhan, di mana berdasarkan ketentuan sekitar 20 persen kredit perbankan diperuntukan bagi mereka. Paling tidak, para pengusaha kecil kini memeproleh bantuan modal, manajemen dan pemasaran produknya.
Sebenarnya, masih ada kelompok masyarakat “yang kecil” lainnya yang kurang tersentuh pembangunan. Bahkan, mereka seolah merasa asing dengan pembangunan. Mereka bukan buruh atau pengusaha kecil, mata pencaharian mereka tergolong “informal”, tidak tersentuh koperasi atau kredit perbankan.
Mereka tak lain dari masyarakat lapisan terbawah, yang umumnya dikatagorikan sebagai penyandang masalah sosial. Yang termasuk dalam kelompok tersebut umpamanya para gelandangan dan pengemis, yang umumnya bermukim di perkotaan. Tampaknya, pemerataan akan sulit diterapkan pada lapisan masyarakat terbawah ini. Mengingat begitu lebar kesenjangan yang telah terjadi. Mereka begitu tertinggal, oleh sebab itu diperlukan bentuk penanganan khusus.
Jangan sampai pembangunan yang sedang digalakan, makin menyudutkan posisi mereka, karena terbentuk gap yang makin kokoh. Mengacu pada prinsip kesetiakawanan social, selayaknya “yang kecil” pun harus secara bersama-sama ikut menikmati hasil pembangunan. Dengan demikian, kesetiakawanan social sudah selayaknya bukan sekedar slogan dengan bentuk kegiatannya yang temporer, tetapi harus benar-benar kongkrit dan berkelanjutan. Dan upaya pemerataan tersebut, harus dilakukan secara bersama-sama, melalui partisipasi proaktif berbagai pihak. (Atep Afia).

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Dalam situasi yang sulit dan tidak menentu, akhirnya secara bertahap bangsa kita mampu membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis. Dan puncaknya terjadi ketika terjadi Serangan Umum 1 Marei 1949 di bawah pimpinan Komandan Brigade X, l.etkol Soeharto (mantan Presiden Rl) yang berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Sukses tersebut jelas akan sulit diraih tanpa internalisasi dan sikap apresiatif terhadap nilai kesetiakawanan sosial, di samping kecekatan dan kemampuan para pemimpin dalam menyiasati situasi.
Rasa Kemanusiaan
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Di penghujung tahun 1997 ini, negeri kita “digoyang” oleh serentetan “tragedi dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan. Kebakaran hutan, kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang tengah menguji “akting” sosial kita terhadap para korban.
Saudara-saudara kita di Lampung, Irian Jaya, dan sebagian Jawa, sangat membutuhkan uluran tangan kita untuk menyantuni mereka sekadar untuk bisa bertahan hidup. Rasa kemanusiaan kita benar-benar diuji. Kalau selama ini kita terus bersikutat untuk menumpuk-numpuk harta, sikut sana sikut sini untuk memanjakan naluri kesenangan dan kepangkatan, bahkan tidak jarang harus membudayakan upeti dan amplop dalam memuaskan kebuasan hati, saudara-saudara kita justru memeras keringat, air mata, bahkan darah, untuk bisa “survive” mempertahankan nyawanya.
Akselerasi pembangunan yang telah mampu menjangkau kemakmuran dan tingkat taraf hidup yang memadai, harus kita syukuri dengan banyak menyantuni kaum dhuafa yang nasibnya kurang beruntung. Pemerintah lewat Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) — yang dirimis sejak awal Repelita VI –setidaknya telah memberikan “patron” yang nyata dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang melilit sebagian saudara kita. Jika pada tahun 1976 jumlah penduduk yang miskin masih sebesar 40 persen atau sekitar 54,2 juta orang, pada tahun 1993 telah berkurang menjadi 14 persen atau 25,9 juta jiwa, dan pada tahun 1996 tinggal 11,3 persen atau sekitar 22,6 juta orang. Upaya pengentasan kemiskinan ini jelas memerlukan kepedulian kita semua, bukan sekadar ingin membantu suksesnya program pemerintah, melainkan justru yang lebih penting “menyelamatkan” mereka yang dhaif secara ekonomi dari proses segregasi sosial yang bisa memicu pecahnya konflik, kecemburuan, atau kekerasan sosial.
Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.
Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.
Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modem, menurut Hembing Wijayakusuma (1997) telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.
Kesibukan memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.
Fenomena di atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangiun para pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.
Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimana pun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentukpenyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan bar-bar.
Ketika memberikan wejangan kepada para dalang dalam rangka “Rapat Paripurna PEPADI 1995″ di Jakarta, Presiden Soeharto pernah menggunakan analogi lakon wayang “Makutha Rama” yang memuat ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawawidhi. Ajaran ini membuat delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia dalam memperkukuh tali kesetiakawanan sosial akibat semakin dahsyatnya arus konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme yang melanda masyarakat modern.
Pertama, watak bumu, simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak matahari, mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Keempat, watak angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras.
Kelima, watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi. dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air, bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan, watak bintang, tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.
Wacana” kesetiakawanan sosial, agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah semakin buram oleh perilaku manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan. Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk mengaktualisasikannya, sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya yang terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan. ***
Ketika baru saja berhasil menumpas Pemberontakan PKI Madiun, secara mendadak Belanda melancarkun aksi militernya yang kedua, 19 Desember 1945. Dengan taktik “perang kilat”, Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik Indonesia. Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjadi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya. Jenderal Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan prajurit kita terus berjuang, bahu-membahu, saling rangkul, dan saling berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Oleh karena itu, sebagai manusia sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan memiliki begitu banyak tetangga yang bisa dijadikan saudara kita seharusnya bias lebih meningkatkan rasa kemanusiaan kita kepada semuanya tidak terkecuali. Tidak memandang harta,martabat dan kedudukan. Sesungguhnya kita di dunia ini adalah sama, jadi tidak perlu kita bangga-banggakan dengan apa yang kita miliki. Jika kita menghilangkan hal tersebut maka kejadian-kejadian yang bersifat negatif pasti tidak terjadi di lingkungan kita.
 Menurutnya, sebagai prajurit dan keluarga besar Angkatan Udara, kebersamaan dan kesetiakawanan sosial diwujudkan melalui pengabdian terhadap tugas yang diemban. TNI Angkatan Udara berupaya mendekatkan diri kepada rakyat melalui berbagai kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung seperti keterlibatan TNI AU dalam operasi militer selain perang terutama dalam penanggulangan bencana.

Pernyataan tersebut disampaikan Kasau Marsekal TNI Imam Sufaat SIP pada acara perayaan Natal TNI Angkatan Udara di Mabesau, Cilangkap, Selasa (18/1). Diikuti seluruh anggota militer dan PNS yang beragama Nasrani serta dihadiri Asops Kasau Marsda TNI Ignatius Basuki, Ketua umum PIA Ardhya Garini Ny Maya Imam Sufaat, Wakil Ketua umum PIA Ardhya Garini Ny Sukirno, Waasops Marsma TNI Bambang Sulistyo, Kadiswatpers Marsma TNI Potler Gultom. Rohaniawan TNI AU Romo Hari Susanto PR, Romo Ulun dari pejompongan dan Pendeta Tobing sebagai penceramah Natal.


 REFERENSI:

http://sawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan-sosial-versus-masyarakat-konsumtif/

http://trimiyati.web.ugm.ac.id/wordpress/?p=6

Kamis, 20 Oktober 2011

KORUPSI

PENGERTIAN KORUPSI
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.

1. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
2. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);
3. Koruptor (orang yang korupsi).
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9) . Adapun tambahan ,Pengertian Korupsi yaitu (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
Pidana Penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.
Pidana Tambahan
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
Perbuatan melawan hukum;
Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

•perbuatan melawan hukum;
•penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
•memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
•merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
•memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
•penggelapan dalam jabatan;
•pemerasan dalam jabatan;
 ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
•menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
•Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
•Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
•Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
•Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
•Lemahnya ketertiban hukum.
•Lemahnya profesi hukum.
•Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
•Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
•Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
• Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Dampak negatif Yang Ditimbulkan:
DEMOKRASI

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

EKONOMI

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.

(Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):

Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun menurut abjad):

Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)

Sumbangan kampanye dan "uang lembek"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.





Referensi

* Sebagian besar dari isi artikel ini diambil dari
halaman wikipedia berbahasa Inggris yang setara. Referensi berikut ini disebutkan oleh artikel berbahasa Inggris tersebut:
* Axel Dreher, Christos Kotsogiannis,
Steve McCorriston (2004), Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model












Selasa, 04 Oktober 2011

BSS ( Basic Social Science )


First of all, before I explain the BSS( Basic social Science ) I would try explaining about knowledge. The scientist said that Knowledge is all of the aware effort to be accurate, found and increased human to understand from all sort of fact in the human nature meaning.
While, Social Science or Social Studies is the academic discipline group which learn aspect that relation with human and social rage. His studies is different from art and humanyora because it is pressing the using scientific method to learn humanity, including quantitatif and qualitatif. This technical term counted with the wide scope in the various field that include act and connect human in this time and the past time. Different from general studies, social science consentrat on the one topic in a deep manner rather give a wide observation and consistancy.
Social science, learning the aspect human, in a subjective manner, inter-subjective and objective or structure, before considered before does not enough scientific if it compare with nature science, but-subjective and objective or structure, before considered before does not enough scientific if it compare with nature science, but now some of social science now some of social science had have used cross-discipline in the social scientific besides the human’s attitude along with social factor and area that can influence to which had make a lot of studies scientific interest with some aspect on the methodology social science. Using the quantitive method was more me integration on study about human’s measure with implication and consistency.
Social science
Social science have aim to examine arrangements that is in society connection. To examine this matter, use the scientific method as icon from natural science. But, not at all of through are true 100%, it is just approach the truth. That because. Discipline in the relation between this human not only can change from time to time.

BSS (Basic Social Science)’s Archives                               
Teenagers and socialization
1.  Teenagers
·        Are transition period with phsicology and very set of problems and in this period that perhaps they are on anomy.
·        Are the group that easy to influence by mass media  whatever the shape, because the emosion is still changing.
·        Are as an individual and transition period which have evaluation that did not become with standard ethics and realigy.

2.  Teenagers’ anomie
·        Enoch Marikum appear because the various and the loosing standard
·        Society which hoped can give answers also there are on the transition condition.
·        And on the confused condision they are looking for another standard handle which give their opprtunity to deviate.

3.  Become two orientation
·        Dr. Male: are orientation which rest on parents hope, society always be in contadiction with being bound also loyality with peer.
·        That cause, they get all of information without select at the first.
·        And on the anxious condition that cause they try to commit suicide.

4.  Increase the teenagers’  potencial
·        Organize a project together which involve the teenagers
·        Match the scientific opus.

5.  Important knowledge
·        Must have wide knowledge
·        Get socialization process
·        Various of teenagers to unite firmly in the acculturation shape
·        Have an opinion that larger and creative.

6.  Problem generation potensial teenagers
·        Down up idealism soul, patriotism, and nasionalism.
·        Not have sure in the future that to face
·        Not belence generations with knowledge facility
·        Less field of work
·        Less nutrient
·        A lot of marriage above the right time
·        Free sex
·        Up to teenagers are naughty
·        Did not have an regulation about generation





I.            BSS ( Social Basic Science )
While, BSS ( Basic Social Science) is analyze about social’s problems which has been formed by Indonesian people, with used theories ( fact , consep, theory) which come from expertise sector knowledge on the social science field like ( social geography, sosiology, social antropology, politics, economy social psychologist and history)MK.
BSS appereatice one of effort that can be hoped to give general knowledge about drafts which blow to complete social indications in order perceptive, perception and student’s intelectual on the face social area can be increased, in order student in the social area can be larger.
Studies rage BSS (Basic Social Science)
BSS attending for two team at the first: study of human, and study of social leagve study. At the first attend from phsichology, sociology, and antropology and another are economy and politics.

Target BSS studies
 Is the big basic aspect which in the humans’ life as a social creature and problems that can get from them.

Increase of BSS
BSS helps to increase student’s intellectual and student’s individuality in order can get larger knowledge and individuality characteristics that hope from student’s attitude, specially about human’s attitude to face another human, and another attitude people faced human each other.
II.            BSS can be made from some ways. In the general ways knowledge can made to become three groups. There are  Science, Social, Culture knowledge or have been known human’s knowledge. This Science’s group   which serve as a basic for Basic Nature Knowledge, Basic Social Knowledge and Basic Culture Knowledge that must take by the student beside another general lectures, like Theology, Pancasila, and Manliness. BSS is not the one of discipline lecture but more than study that have multi characteristics and inter discipline. BSS thought to students about drafts which increase to examine social indications that happen around them. With that, hope all of students can have high social sensitivity with social rage, with that, students are hoped have social care to apply their knowledge to the society.