Pengertian kerukunan antar umat
beragama
Kerukunan
umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat
adanya toleransi agama. Toleransi agama adalah suatu sikap saling pengertian
dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya dalam
masalah agama. Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat penting
untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini. Seperti yang kita
ketahui, Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak. Tak hanya masalah
adat istiadat atau budaya seni, tapi juga termasuk agama. Walau
mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa agama lain yang
juga dianut penduduk ini. Kristen, Khatolik, Hindu, dan Budha adalah
contoh agama yang juga banyak dipeluk oleh warga Indonesia. Setiap agama
tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah
alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, kita
harus menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Pengertian
lain dari kerukunan umat beragama yaitu suatu bentuk menjalin kahidupan di mana
kita harus saling menghormati serta menghargai agama-agama lain di sekeliling
kita, misalnya dalam bentuk hari-hari besar yang mereka rayakan. Tidak hanya
hari-hari besar dalam hidup keseharian pun kita harus tetap menjalain
komunikasi dengan baik untuk membangun suatu hubungan yang dapat berpengaruh
positif dalam kehidupan kita.
Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama. Tidak tidak
bisa dibantah bahwa, pada akhir-akhir ini, ketidakerukunan antar dan antara
umat beragama [yang terpicu karena bangkitnya fanatisme keagamaan] menghasilkan
berbagai ketidakharmonisan di tengah-tengah hidup dan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang
menunjukkan diri sebagai manusia beriman [dan beragama] dengan taat, namun
berwawasan terbuka, toleran, rukun dengan mereka yang berbeda agama. Disinilah
letak salah satu peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama,
yaitu mampu beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak
menunjukkan fanatik agama dan fanatisme keagamaan. Di balik aspek perkembangan
agama-agama, ada hal yang penting pada agama yang tak berubah, yaitu credo atau
pengakuan iman. Credo merupakan sesuatu khas, dan mungkin tidak bisa
dijelaskan secara logika, karena menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di
luar jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan seringkali credo tersebut
menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan,
karena berbagai sebab, bisa berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian,
beda persepsi, dan lain sebagainya, kemudian berujung pada konflik.
Di samping itu, hal-hal lain seperti pembangunan tempat ibadah,
ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana penyembahan atau ibadah,
termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali menjadi faktor
ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua bentuk pembedaan
serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh masing-masing tokoh dan
umat beragama, maka akan merusak hubungan antar manusia, kemudian merasuk ke
berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya, masyarakat mudah terjerumus ke
dalam pertikaian berdasarkan agama [di samping perbedaan suku, ras dan
golongan]. Untuk mencegah semuanya itu, salah satu langkah yang penting dan
harus terjadi adalah kerukunan umat beragama. Suatu bentuk kegiatan yang
harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat beragama.
Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau
tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan
kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana
persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara
suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk
menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan
untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram.
Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu
serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta
cinta-kasih.
Di samping itu, harus terjadi kerukunan intern umat beragama.
Hubungan tak harmonis intern umat beragama pun bisa merusak atau berdampak
masyarakat luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks
kitab suci dan pemahaman teologis dalam agama-agama memunculkan konflik serta
perpecahan pada umat seagama. Konflik dan perpecahan yang melebar, bisa
mengakibatkan rusaknya tatanan hubungan baik antar manusia, bahkan mengganggu
hidup dan kehidupan masyarakat luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak
mengganggu ketertiban umum; tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak
menyinggung perasaan keagamaan atau ajaran agama dan iman orang yang berbeda
agama; dan lain-lain
Kerukunan antara umat beragama dan kerukunan intern
umat seagama harus juga seiring dengan kerukunan umat beragama dengan
pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi memberlakukan kebaikan
TUHAN Allah kepada manusia; pemelihara ketertiban, keamanan, keadilan, dan
kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam kenyataan kesehariannya, seringkali
terlihat bahwa, pemerintah dengan politik akomodasinya, bukan bertindak
sebagai fasilitator kerukunan umat beragama, tetapi membela salah satu agama.
Macam-Macam
Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
- Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen.
- Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama.
Bagaimana
Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Indonesia
- Menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, baik sesama antar pemeluk agama yang sama maupun yang berbeda.Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misal, perijinan pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia.
- Selalu siap membantu sesama. Jangan melakukan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama.
- Selalu jagalah rasa hormat pada orang lain tanpa memandang agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan tidak sinis. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
- Bila terjadi masalah yang menyangkut agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin tanpa harus saling menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak.
Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama
Dalam tahun-tahun belakangan ini
semakin banyak didiskusikan mengenai kerukunan hidup beragama. Diskusi-diskusi
ini sangat penting, bersamaan dengan berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan,
yang setidak-tidaknya telah menantang pemikiran teologi kerukunan hidup
beragama itu sendiri, khususnya untuk membangun masa depan hubungan antaragama
yang lebih baik--lebih terbuka, adil dan demokratis.
Kita semua tahu, bahwa masalah
hubungan antaragama di Indonesia belakangan ini memang sangat kompleks. Banyak
kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut.
Belum lagi agama sering dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi, karena
adanya konflik-konflik di tingkat elite dan militer.
Tulisan ini tidak akan membahas
latar-belakang ekonomi, sosial, dan politik dari kehidupan antaragama di
Indonesia belakangan ini--yang memang sudah banyak dianalisis--tetapi justru
ingin kembali ke pertanyaan dasar: Adakah dasar teologis yang diperlukan untuk
suatu basis kerukunan hidup beragama?
Pertanyaan ini penting, karena
selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis, karena menyangkut masalah akidah,
sehingga itu tidaklah perlu dibicarakan--apalagi dalam hal antaragama. Sehingga
terkesan teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan menghasilkan masyarakat
beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global dan pascamodern dewasa
ini lebih bersifat terbuka dan pluralistis.
Eksklusif
atau Pluralis?
Memang, dalam sejarah telah lama
berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah
yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini
masih sangat kental, bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam tidak hanya
buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog
kontemporer misalnya masih menarik untuk diungkapkan di sini. Katanya
"Other religions are false paths, that mislead their followers"
(Agama lain adalah jalan sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan Ajith
Fernando ini memang sangat keras dan langsung tergambar segi
keesklusivitasannya. Dan yang menjadikan kita kaget adalah Kitab Suci ternyata
dianggapnya membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu
memang bisa dilegitimasikan--atau tepatnya dicarikan legitimasinya--lewat Kitab
Suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh, dalam tradisi
Katolik, sejak Konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan
menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam
agama-agama non-Kristiani.
Karl Rahner, teolog besar yang
menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifnya yang begitu
terbuka, kira-kira dengan mengatakan. "Other religions are implicit forms
of our own religion" (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama
kita). Tulisan Karl Rahner mengenai ini dibahas dalam bab "Christianity
and the Non-Chrisitian Religions" dan "Observations on the Problem of
the 'anonymous Christian'," dalam bukunya Theological Investigations, vol.
5 dan 14.
Dalam pemikiran Islam, masalah ini
juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep
"Ahl al-Kitab" (Ahli Kitab) yang memberi kedudukan kurang lebih
setara pada kelompok non-muslim, dan ini dibenarkan oleh Alquran sendiri,
tetapi selalu saja ada interpretation away--yaitu suatu cara penafsiran yang
pada akhirnya menafsirkan sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual
Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif.
Perspektif
Baru
Kembali pada teologi eksklusif di
atas, begitulah, kita baik kaum Muslim maupun umat Kristen telah mewarisi
begitu mendalam teologi eksklusif yang rumusan inti ajarannya adalah--seperti
ditulis oleh filsuf agama terkemuka Alvin Plantiga--"the tenets of one
religions are in fact true; any propositions that are incompatible with these
tenets are false" atau John Hick, "The exclusivivits think that their
description of God is the true description and the others are mistaken insofar
they differ from it."
Karena pandangan tersebut, maka
mereka menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka
sendiri. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan
otoriter!!!
Oleh karena itulah diperlukan suatu
perspektif baru dalam melihat "Apa yang dipikirkan oleh suatu agama,
mengenai agama lain dibandingkan dengan agama sendiri" Perspektif ini akan
menentukan apakah seorang beragama itu menganut suatu paham keberagamaan yang
eksklusif, inklusif atau pluralis. Apakah ia seorang yang terbuka atau
otoriter?
Menganut suatu teologi eksklusif
dalam beragama bukan hal yang sulit. Karena secara umum, sepanjang sejarah
sebenarnya kebanyakan orang beragama secara eksklusif. Kalau ukurannya adalah
Konsili Vatikal II, maka baru sejak 1965 lah secara resmi ada usaha-usaha
global untuk memulai perkembangan teologi ke arah yang inklusif.
Dan baru belakangan ini saja
berkembang teologi yang lebih pluralis--yang lebih merentangkan inklusivitas ke
arah pluralis dengan menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam
agama-agama--yang digali lewat kajian teologi agama-agama.
Teologi pluralis melihat agama-agama
lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are
equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of
different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an
important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengekspresikan
adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Di sini jelas teologi
pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada
kecenderungan opresif terhadap agama lain.
Teologi
Agama-Agama
Di antara perkembangan baru mengenai
teologi pluralis ini, sekarang berkembang suatu cabang ilmu yang disebut
teologi agama-agama (theology of religions). Kita perlu memperhatikan
perkembangan baru ini, karena dalam teologi ini termuat suatu pijakan modern
dalam membangun kerukunan hidup beragama: Suatu pijakan yang berangkat dari
kesadaran pentingnya memperhatikan pluralitas dari dalam teologi itu sendiri.
Dewasa ini penerimaan atas
pluralisme tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah
bangsa yang majemuk dari segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka
kita sebenarnya berangkat dari kenyataan sosial yang terfragmentasi
(terpecah-pecah)--yang karena itu diperlukan pluralisme sebagai cara untuk
menghindari kefanatikan, jadi fungsinya hanya sebagai a negative good.
Padahal kebutuhan sekarang bukan
hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah paham pluralisme itu dibangun
karena begitulah faktanya mengenai Kebenaran Agama, bukan hanya karena fakta
sosialnya! Pluralisme adalah bagian dari--seperti sering dikatakan Prof Dr
Nurcholish Madjid--"pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Nah, persis sejalan dengan kebutuhan
itu, teologi agama-agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu
agama perlu masuk dalam dialog antar-agama, yang didalamnya akan didalami
bersama partner dialog, "a new depths of understanding of God's saving
ways". Di sini teologi agama-agama akan mempersiapkan komunitas beragama
dalam kepemimpinan teologis dalam memasuki dialog antaragama itu.
Ini penting sebab sekarang diyakini
diktum: Those who know only their own religion, know mone. Those who are not
decisively committed to one faith, know no others. To be religious today is to
be interreligious! Jika diktum ini sudah diterima, akan lebih mudahlah memasuki
dialog antaragama dan selanjutnya segi teologisnya, yang dari sini pemerkayaan
iman akan sangat dimungkinkan. Usaha-usaha besar pencarian "Etika
Global" dari agama-agama yang populer sejak Sidang Parlemen Agama-agama
(1993), menurut saya akan jauh lebih mendasar jika berangkat dari dialog
teologis, yang meneguhkan sikap paralelisme itu--yang mengekspresikan kesadaran
"Satu Tuhan, dalam banyak jalan".
Saya ingin menutup artikel ini
dengan kutipan dari ajaran Sufi. Para sufi tidak saja menegaskan kesatuan
wahyu, tetapi juga menganggap diri mereka sendiri sebagai pelindung Islam dan
pelindung agama-agama lain. Pemimpin Sufi seperti Jalal al-Din Rumi, misalnya
melukiskan pandangan pluralisnya dengan menggunakan gambaran berikut.
"Meskipun ada bermacam-macam
agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan
menuju ka'bah?...OLeh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah
jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi
apabila yang Anda perimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya
pada satu tujuan."
Akhirnya dalam spirit kesatuan
inilah, kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama-agama ini harus dikenal
dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan
penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya.
REFERENSI
oleh: Budhy Munawar-Rachman
(Staf Pengajar Universitas Paramadina Mulya Jakarta)
(Staf Pengajar Universitas Paramadina Mulya Jakarta)
http://www.jappy.8m.net/blank_14.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar